Dike merangkul leherku.
"Lu memang paliiiing cantik!", gayanya sok imut itu membuatku tak tahan.
Aku tersenyum, bahagia juga. Tapi aku juga bingung harus berekspresi seperti apa lagi. Tapi yang jelas, saat ini hatiku berbunga.
***
Gue dapet A! :)
Aku tersenyum membaca pesan singkat Dike.
Yaeyalah, pake referesi gue gituloh! ;)
Begitu aku membalas pesan singkatnya.
Dike. Ah, anak itu lahir satu tahun kurang tiga hari setelahku lahir, tapi sekarang dia duduk dua tingkat dibawahku di kampus. Dike memang terlambat masuk SD, dan aku lebih cepat.
"Duuh.. Senyum-senyum aja nih sambil lihat hp", Acha datang mengagetkanku.
"Aku habis baca artikel lucu", aku mengelak dan dengan cepat mengalihkan task dari pesan ke browser. Aku sudah paham sekali Acha sangat kepo.
"Lihaat..", Acha bersemangat merebut ponsel dari tanganku.
Sudahku duga.
***
Aku lihat Jesica dibonceng Dike. Jesica melihatku dan melambaikan tangannya sambil tersenyum. Aku membalas senyuman dan lambaian tangan Jesica. Argh, kenapa aku merasa tak jelas.
Marah, kesal, kecewa?
Dike punya hak. Dike sudah dewasa. Aku tidak bisa lagi menjadi kakak yang melindungi adik kecilnya. Cemburu? Mungkin saja, tapi sebagai kakak.
***
3 tahun lalu.
Aku berjalan sendirian di lorong sekolah. Kesendirian itu memang menyenangkan. Aku bisa menikmati irama hentakan kakiku. Aku bisa menikmati angin-angin yang menerpaku. Aku sangat menikmati arus kehidupan saat ini. Aku melangkah entah kemana sesuka hatiku.
Namun tiba-tiba, tidak tahu mana yang terjadi lebih dulu, ada suara teriakan yang memanggil namaku, suara desing yang memekakan telinga, dan seseorang menimpaku, lebih tepatnya memeluk kepalaku hingga membuatku jongkok. Setelah itu terdengar bunyi sesuatu yang pecah, dan aku melihat beberapa pecahannya jatuh ke lantai dekat kakiku. Aku sangat kaget!
"Lu gak apa-apa, Dar?", suara yang tebal itu terdengar tidak asing.
Aku memfokuskan pandanganku pada sosok laki-laki yang kini ada dihadapanku sambil mengibaskan rambutku untuk membersihkan pecahann kaca. Ia kini menepuk2 bahu dan punggungku.
"Dike?! Kenapa ini?!", aku meminta penjelasan pada orang yang tadi baru saja, aku pikir dia sudah, menyelamatkanku.
"Spinner kipas di kelas ini hampir kena kepala lu. Tuh liat", Dike menunjukan spinner kipas yang tergeletak rusak dipinggir lapangan.
Aku masih tak mengerti dengan penjelasannya. Aku terus mengorek informasi bagaimana dia bisa menolongku secepat itu.
Saat Dike hendak menjelaskan, guru-guru yang masih ada di sekolah datang sambil berlari menuju arahku. Murid-murid lain yang masih latihan ekskul juga menghampiri kami.
Kali ini giliran Dike yang terlihat syok dihujani berbagai pertanyaan. Tapi aku juga tak mengerti, saat beberapa guru dan murid bertanya padaku. Akhirnya dengan sisa kesadaranku aku berkata, "Pak, kami masih syok. Boleh kami bersihkan diri dan duduk terlebih dulu?".
Akhirnya para penanya itu menyadari sesuatu. Kami berantakan dengan pecahan kaca bertaburan ditubuh kami. Mereka kemudian membantu membersihkan pecahan kaca di tubuh kami, dan kami kemudian digiring ke UKS.
Saat berjalan ke UKS aku menyadari banyak hal.
***
Aku tersenyum saat mengingat kejadian saat pulang pemantapan di SMA. Saat itu, aku duduk di kelas XII dan Dike duduk di kelas X. Cerita sebenarnya adalah, munurut penuturan Dike, Dike hendak menuju mesjid. Dan melihat aku melangkah gontai. Tapi ia juga melihat spiner kipas angin di kelas seperti akan lepas. Tadinya sambil berlari Dike hendak masuk ke kelas untuk mematikan kipas, tapi Dike memperkirakan bahwa sepertinya waktunya tidak akan cukup untuk mematikan kipas yang controlernya jauh di pojok belakang kelas. Akhirnya Dike memutuskan membuat aku menunduk dengan resiko ia juga terluka.
Waw, aku pikir aksi itu heroik sekali. Dike jadi lebih dikenal setelah menolongku. Seperti yang aku katakan sebelumnya, sejak itu juga aku menyadari banyak hal.
Kini Dike semakin tumbuh besar, badannya semakin tinggi melebihiku, badannya juga semakin kekar, suaranya semakin tebal, dan dia semakin... tampan.
***
Aku melihat Jesica berjalan menghampiriku yang duduk sendirian di kantin menunggunya karena dia meng-sms ku yang meminta aku bertemu dengannya. Aku tersenyum dan menyapanya.
"Jangan kusut gitu dong muka cantiknya..", hiburku saat Jesica sudah duduk dikursi disampingku.
"Kak.. Dike nolak aku doong! Mau dimana ditaro harga diri aku!", Jesica merajuk sambil menarik-narik lenganku.
"Kamu yang nembak?", aku terkejut dengan kenekatan Jesica.
"Huaa..", tangis Jesica semakin merajuk.
Aku tercengang. Banyak pertanyaan muncul di benakku. Tapi anehnya aku merasa sedikit lega.
***
"Lu bego, Ke! Cewek kece gitu ditolak!", aku menegur Dike suatu ketika saat Dike main ke rumahku.
"Yang kece banyak..", Dike santai mengunyah kacang dari toples yang dikuasainya dalam pelukannya sekarang.
"Ya terus mau yang gimana?", aku sebetulnya mengajukan pertanyaan ini dengan sedikit kepo.
"Yang... Em...", Dike sok berpikir serius.
"Yang dewasa deh!", tambahnya tiba-tiba, sambil tetap mengunyah kacang
Degh! Aku kenapa jadi berdebar gini ya? Ah.. Jangan sampai aku jadi salah tingkah.
"Banyak kan temen-temen lu yang dewasa?", aku tanpa sadar berceletuk sesuai dorongan hatiku.
"Tapi, yang klik susah. Eh, udah siih. Ngapain ngomongin itu. Tantee.. Ada makanan lagi gaa?", Dike langsung ngeloyor pergi ke belakang sambil memanggil ibuku, meninggalkan aku yang mematung. Untung saja Dike sudah pergi. Aku sekarang benar-benar berdebar.
***
#Dike's side#
Sambil memanggil Tante Devi, Ibu Dara, aku sebenarnya menghindari pertanyaan Dara lebih jauh. Aku takut keceplosan. Untung kacang sudah habis, jadi aku bisa menghilangkan alibi.
Ah, andai kau tahu Dara.
***
Cerpen jadul lama, baru di post
Sudah hampir setengah tahun lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar