"Kailaaa...", suara yang tidak asing dan ingin aku hindari itu akhirnya terdengar.
Aku melambatkan langkahku hingga berhenti sama sekali, meski hatiku enggan. Lelaki keriting itu kini ada di samping kananku, terengah-engah.
Wajahnya sumringah dan bibirnya menyunggingkan senyum lebar. Aku dengan sedikit enggan, membalas senyumnya. Terpaksa.
"Mau ke Futsal Area, kan? Ayo, kita sama-sama!", ajaknya.
Aku mengangguk sambil senyum, palsu.
"Ayo..", aku merasa tak nyaman dengan situasi ini.
Aku memilih pura-pura melanjutkan memainkan ponselku sambil berjalan.
Ah, menyebalkan.
Aku membuka halaman-halaman web yang direkomendasikan oleh halaman yang sedang aku baca, agar bisa aku baca selama perjalanan dari gedung fakultas hingga Futsal Area di kampus.
Aku memilih menghindari kontak mata dan obrolan dengan lelaki yang kini berjalan disampingku ini, Wage. Aku begitu canggung dan tidak nyaman dengan situasi ini.
Sungguh.
***
Situasi ini bermula saat tim inti klub futsal kampus kami sedang bertanding futsal tingkat nasional dari sebuah brand pakaian olahraga tersohor ke Yogyakarta untuk dua minggu, Kemudian ada undangan turnamen di UT, universitas rival terberat kami dalam setiap pertandingan futsal.
Pemberitahuan turnamen ini begitu memdadak, sehingga tidak ada persiapan krusial untuk turnamen ini. Semua playmaker sudah di boyong ke Yogyakarta, yang tersisa hanya beberapa orang yang tidak bisa ikut karena UTS dan belum berpengalaman dalam turnamen futsal besar, kebanyakan dari kami mahasiswa tingkat satu. Termasuk aku dan Wage.
Aku dan Wage diminta langsung oleh Kak Marsha, ketua manager, dan Kak Riza, ketua klub, untuk mengurus persiapan dan pendaftaran untuk turnamen di UT, jangan klub sampai tidak ikut sama sekali. Minimal ada perwakilan. Sudah jadi rahasia umum kalau tim inti futsal dikirim ke Yogyakarta setelah penyisihan grup di Jawa Barat.
"Lagipula, kalian sudah banyak berlatih, kan?", Kak Riza meyakinkan kami.
Mau tak mau kami mengiyakan tantangan dari senior kami tersebut.
Selama 5 hari persiapan, sepulang kuliah, setiap sore hingga kami latihan dan mengatur strategi. Aku sebagai salah satu dari tim manager, terutama karena langsung diminta bertanggung jawab, berusaha mensupport seluruh tim dengan maksimal. Aku memperhatikan kondisi fisik dan menganalisa kelebihan dan kekurangan tiap pemain tim, seperti yang biasa Kak Marsha lakukan dan ajarkan seluruh tim manager. Aku juga mensupport kebutuhan logistik, seperti bola, vitamin, sepatu dan seragam cadangan, dan hal lainnya.
Sialnya, anggota tim manager dari mahasiswa tingkat satu hanya aku. Tim manager tingkat dua dan tiga semua pergi ke Yogyakarta. Mahasiswa tingkat empat sudah sibuk dengan skripsi, sehingga hanya membantu dukungan. Alhasil aku kewalahan.
Untungnya Wage bisa diajak kerjasama dalam hal ini. Aku jadi banyak mendiskusikan banyak hal dengan Wage.
Memang anggota lain juga banyak dilibatkan dalam diskusi dan pengambilan keputusan, hanya saja, karena aku dan Wage yang langsung di-titip-kan tanggung jawab mengatur, kami secara tidak sadar sering berkoordinasi dalam banyak hal.
Kerja keras tim tingkat satu tidak sia-sia. Kami memperoleh juara 3, lewat pertandingan perebutan juara ke-tiga. Segitu juga lumayan untuk semua anak baru macam kami yang belum punya jam terbang. Tapi sayang meski tugas sementara kami sudah selesai, ada hal yang belum selesai, setidaknya bagi Wage.
***
Hai, Kai..
Wage suatu malam mengirimkan pesan instan kepadaku. Saat itu aku sedang mengerjakan tugas presentasi.
Hai. Ada apa, Ge?
Aku masih belum berpikir negatif saat itu.
Kamu lagi apa? Lagi sibuk?
Wage kemudiam membalas pesanku lagi.
Aku mulai berpikir, bisa jadi ada hal penting.
Lagi bikin tugas. Ada apa emang?
Aku membalas singkat dan cepat, takut memang ada hal penting.
Gak apa. Cuma pengen tau. Kamu udah makan?
Tuing.
Aku mulai merasa aneh. Dan itu ternyata baru awal dari semua keanehan yang akan terjadi setelahnya.
***
"Daaaaa...", aku merengek pada Wanda, sahabatku, memperlihatkan ponselku yang bergetar. Ada panggilan masuk, dari Wage.
"Angkat aja, sih! Ribet amat!", Wanda yang sedang baca komik di kasurnya, enggan di ganggu.
"Wan, lu yang angkat bilang hp gue ketinggalan di kosan lu, ya? Please...", aku merengek lagi, memohon.
"Iih.. Males... Ga usah diangkat. Masukin aja ke tas lo sana, ga usah mainin ato cek hp dulu", tegas Wanda.
"Tapi kalau ada yang penting?", aku merasa berat dengan saran Wanda.
"Hei, lo tau? Kalau ada Alfa telepon, lu bakal angkat?", Wanda melipat bagian yang sedanh ia baca dan menutup komiknya sekarang, ia kini fokus menatapku. Tanda ceramahnya akan dimulai.
Aku mengangguk pelan.
"Dan gimana kalau itu Wage yang ikut nelpon pake hp Alfa?", tanyanya lagi.
Aku diam tertunduk, memainkan tali sarung guling Wanda.
"Udah biarin aja. Kalo penting banget mereka bakal telpon gue, kok!", Wanda merebut ponselku dan memasukannya kedalam tasku.
"Iiih.. Kenapa sih bukan Alfa, Kak Riza, atau Rizki deh seenggaknya..", keluhku pada Wanda.
"Hei, kalau ya.. Misalnya ini Alfa atau Kak Riza, bahkan mungkin Rizki akan bilang gini seandainya tahu perasaan lo 'Duh, kenapa malah Kaila? Kenapa gak si Wanda aja?', gimana perasaan lo?", Wanda menambahkan ceramahnya.
Aku akhirnya cuma bereaksi satu hal kalau Wanda sudah mulai ceramah, menunduk dan diam sambil memainkan sejenis tali atau apapun yang bisa dimainkan, untuk mengurangi rasa bersalah. Ceramah Wanda memang selalu benar.
Wanda menatapku tajam dan kembali membaca komik nya yang tertunda karenaku.
***
"Lagian ya.. Em.. Euh, kamu itu harus berhenti nonton korea korea itu deh! Gak semua cowok kaya drama korea, Shay..", Hanna kali ini yang menasehatiku.
"Tuh kan.. Gua bilang apa..", Wanda menambah keruh suasana hatiku saat ini.
"Kamu juga jangan baca manga mulu! Cowok di komik juga sama aja!", Hana kini menyemprot Wanda. Aku tertawa kecil dan menjulurkan lidah pada Wanda.
Rasakan! Hahaha, ejekku dalam hati.
"Nih ya, kita semua punya kekurangan. Kamu, kamu, aku, dia, mereka, kita semua punya kekurangan. Hidup ini bukan drama korea, dimana yang paling ganteng pasti paling baik. Yang kita lihat ganteng, mungkin aja punya kekurangan yang gak kita ketahui. Bahkan mungkin kalau kita tau, kita bakal iflil total sama si ganteng-ganteng mu itu.", jelas Hana panjang lebar.
Aku dan Wanda cuma diam mendengarkan sambil makan cemilan yang dibawa Hana.
Ceramah Hana selalu lebih akurat dari Wanda.
***
Saat ini aku tiba-tiba terngiang kata-kata Hana.
Hidup ini bukan drama korea, dimana yang paling ganteng pasti paling baik.
Aku melihat Wage di sampingku. Dia jalan sedikit di depanku. Aku sedikit bisa mengintip wajahnya. Ya, Wage memang tidak seganteng Alfa. Dia cukup baik, juga sedikit garing dan jayus. Dia juga suka tiba-tiba bertingkah gak jelas. Kalau dibanding Alfa yang cool dan tampan, memang agak jomplang.
Ah, aku pikir, apa aku harus memberinya kesempatan?
Tapi aku tak mau jadi pemberi harapan palsu.
Atau aku harus menjelaskan bahwa aku tidak nyaman dengan sikapnya saat ini? Agar kami bisa berteman seperti semula? Setidaknya aku lebih nyaman bereaksi apapun jika dia tahu.
Aku melihat Wage menoleh kepadaku dan tersenyum. Aku kaget dan agak salah tingkah. Aku lalu memaksakan diri untuk tersenyum. Hmmpfh.
Aku masih bingung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar