Selasa, Mei 01, 2012

Gak Mau Nyontek


“Sya, lihat dong.. Aku belum selesai nih..”, Rummi berbisik pelan padaku.
Aku terdiam. Padahal ini hanya TO, yang tujuannya untuk mengetahui sejauh mana kemampuan kita. Tapi, masih aja kepikiran buat nyontek.
Aku hanya bisa menggeleng, “Aku juga belum selesai.. Ini juga ngasal banget..”, aku sebisa mungkin mencoba menghindar.
“Gak apa-apa, daripada kosong banget..”, Rummi terus merayuku.
Aku terdiam. Ingin sekali rasanya bilang tidak. Tapi Rummi itu sahabatku, sahabat baruku di tempat bimbel ini. Kalau akau tidak memberi contekan, nanti Rummi sebal padaku dan tidak mau bersama-sama denganku lagi.
Aku masih dalam dilema. Berusaha untuk melupakan permintaan Rummi barusan dan berharap itu hanya halusinasi atau mimpiku saja. Aku berharap Rummi tidak pernah mengatakannya kepadaku.
“Sya...”, Rummi memanggilku sekali lagi dengan nada yang lebih terburu-buru namun masih berbisik.

Aku masih berat untuk melirik ke arahnya. Dan benar saja, ketika aku melirik ke arah Rummi, dia segera memberikan isyarat nomor urutan soal yang tertera di kertas. Aku diam, melirik ke arah kertas sambil berpura-pura melihat jawabanku.
Nomor sebelas... D...., batinku dalam hati.
“De...”, aku menggerakan bibirku pelan, sengaja agar tidak jelas. Agar Rummi tidak menangkap jelas maksud dari gerak bibirku. Dalam hati aku berharap Rummi mengira bahwa aku berusaha berkata E.
Aku rasa Rummi sudah merasa mengetahui jawabannya dan segera memenuhi lingkaran yang tersedia di LJK. Entah huruf apa yang dipresepsikannya, aku tak perduli. Yang jelas, saat itu aku tak bisa berfikir jernih lagi. Setelah itu, langsung saja Rummi menanyakan jawaban dari nomor lain.
Dua puluh, Rummi memberi isyarat gerakan bibir.
Hmmmph.... Aku menghela nafas. Rasanya seperti beban 1000 ton langsung menimpa kepalaku. Berat.
***
            “Meed.. Gimana dong? Aku serba salah..”, aku curhat kepada Ahmed yang sekelas juga denganku di sekolah selain di tempat les.
“Huh! Kamu pilih kasih sih! Makanya, yang dikasih tau jangan Rummi doang. Aku juga dong!”, Ahmed malah menimpali dengan jawaban yang tidak aku harapkan. Bukannya membantu mencarikan solusi, malah membuat aku tambah kesal.
Ahmed memang sudah tahu, kalau aku anti sekali pada hal yang berbau percontekan. Aku anti mencontek dan benci dicontek, kecuali pengutipan, yang tentusaja menggunakan tata tertib pengutipan dari sebuah sumber. Kalau seperti itu, tidak apa-apa.
“Aaah.. Nyebelin semuanyaaaa!”, aku ngambek, sambil merobek- robek kertas yang aku pegang.
“Halah. Bete sih bete, tapi hati-hati juga dong!”
“He?”
“Itu, yang kamu sobek-sobek apa coba?”
Aku buru-buru melihat tanganku. Haaa.. Tidaaak! Uang yang aku siapkan untuk ongkos angkot malah aku sobek-sobek.
“Aaaaa.. Bodoooh!!”, aku mengumpat diriku sendiri sambil setengah berteriak di dalam angkot. Kini uang pecahan lima ribu lembaran itu sudah terbagi menjadi 7 potongan.
“Hush! Diem! Malu tau!”, Ahmed menegur sambil menyenggolku. Aku refleks cemberut. Sedih dan kesaaaal.
“Udah, ongkos sekarang aku talangin dulu. Kiri, Pak!”, Ahmed berusaha menghibur, lalu menghentikan laju angkot karena memang sudah sampai di tempat les.
Ya, memang harus seperti itu. Kalau perlu, aku gak usah bayar lagi.. Umpatku dalam hati.
***
TO lagi...
Hari ini, aku bertekad, meski Rummi memelas, meski Rummi memaksa buat nyontek, aku tidak akan memberi contekan pada siapapun! Aku sudah bertekad!
Dan, seperti yang aku duga, Rummi meminta jawaban dariku. Karena aku sudah bertekad, aku memutuskan untuk tidak luluh.
“Rummi.. Maaf, aku gak bisa kasih kamu jawaban.. Kan TO itu dibuat biar kita tau kemampuan kita buat di evaluasi kelebihan dan kekurangannya. Sayang kan kamu udah bayar mahal les tapi gak tau kemampuan dan gak bisa mengembangkan sendiri...”, akhirnya aku berani bicara seperti itu di depan Rummi. Tentu saja aku mengatakan hal itu sambil berbisik, karena takut ketahuan pengawas.
“Oh.. Ya udah..”, aku tak tahu apa yang Rummi rasakan dan Rummi pikirkan. Tapi saat itu, Rummi sepertinya sedang panik mencari jawaban dan tidak terlalu memikirkan perkataanku. Sehingga Rummi mencari ‘korban’ lain untuk dimintai jawaban.
Tapi, seketika, aku seperti langsung ditimpa beban 1000 ton dikepalaku. Tungkai lengan dan kakiku juga mendadak lemas. Bukan karena ada yang meminta jawaban lagi padaku, tapi... Rummi menanyakan jawaban pada Fauzi, gebetanku! Hooo.. Tidaaak... Dan.. Daan.. Dan mereka terlihat klop saling bertukar jawaban. Aaaah.. Tidaaak. Saat itu, seolah-olah nafasku semakin menderu dan menggebu. PANAS. Pikiranku saat itu tidak dapat jernih lagi.
***
Aku dan Rummi tidak ada masalah. Setelah selesai T.O, aku langsung minta maaf pada Rummi. Dan Rummi mengerti pendirianku. Yeaah. Aku sangat bahagia. Dan aku masih berteman baik dengan Rummi, malah semakin baik karena kita saling jujur dengan hati kita masing-masing.
Kecuali satu hal, aku tidak pernah memberitahukan perasaanku pada Fauzi kepada Rummi. Karena setelah itu, aku lihat mereka semakin dekat. Dan juga.. Aku tidak mau punya gebetan tukang nyontek. Meskipun aku kadang masih terhipnotis oleh kegantengan Fauzi, tapi aku memilih untuk tidak bereaksi berlebihan. Aku memilih mengikuti kata hati, dan membiarkan semuanya mengalir.
“Hey! Senyam senyum aja sendiri.. Mikirin apa?”, Ahmed tiba-tiba mengejutkanku dari belakang.
“Nggak..”, sangkalku sambil masih tersenyum. Aku kira tak ada yang melihatku karena aku menghadap papan pengumuman.
“Mikirin Fauzi yaaa?”, Ahmed mulai menggodaku.
“Apasiiih...”
“Udah... Biarin aja.. Tukang contek pasti jadinya sama tukang nyontek lagi.. Orang baik hati, pastinya sama orang baik hati lagi...”, Ahmed masih berusaha menghiburku.
“Amiiin.. Eh, kamu TO dapet berapa?”
“Noh, liat! 38,56. Gak pake nyontek looh..”, Ahmed menunjukan nilainya.
“Widiiiih. Gaul.. Tapi masih gede aku dong.. Aku 43,29”, pamerku.
“Ah.. Tipiiis..”
“Tapi keren kamu Met. Udah sadar... Gak nyontek lagi...”, aku menepuk pundak Ahmed. Salut.
“Iyalah.. Aku juga jodohnya gak mau sama tukang nyontek..”, Ahmed sok.
“Eeeh.. Gak nyontek tuh bukan buat jodoh, tapi buat latihan kejujuran. Biar entar jadi orang yang amanah. Biar bangsa ini jadi lebih baik kalau pemimpinnya pada amanah..”
“Amiiiin, Bu Ustadzah...”
“Hahaha... Balik nyok..”
“Nyok..”
Dan gerimis sore itu terasa begitu menyegarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar