12 tahun ditambah 4 semester saya melakoni kehidupan sebagai seorang
pelajar di pendidikan formal. Seringnya saya mengeluh mengenai aktivitas
belajar yang seolah-olah menjadi kewajiban. Padahal, belajar merupakan
kebutuhan dari setiap manusia yang hidup dan beradab. Belajar juga merupakan
hak bagi seluruh rakyat Indonesia (lihat pasal 28 UUD 1945).
Mungkin masih jelas di memori teman-teman, mengenai kasus seorang anak SD
yang tega menusuk temannya sebanyak delapan tusukan karena temannya tersebut
meminta hp yang telah dicuri oleh anak tersebut dikambalikan.
Ada juga cerita tentang anak TK islam yang sudah cukup terkenal dan
memiliki cabang hampir diseluruh wilayah di Indonesia, yang senang merebut
makanan milik temannya. Bayangkan, jika pemilik asal makanan tersebut tidak
ridho, itu berarti, anak sekecil itu sudah memakan makanan haram. Selain itu,
ada lagi cerita tentang anak yang senang mengambil barang milik pembantunya,
padahal dia memiliki uang saku yang lebih besar nominalnya daripada dengan yang
dicuri olehnya dari pembantunya.
Itu mungkin dari segi kriminalitas. Jika dilihat dari segi nilai moral dan
norma, anak usia SD pun sudah mulai mencoba aktivitas baru bagi mereka, dengan
label pacaran, padahal saya kira, mereka belum memahami apa sebenarnya arti dan
tujuan dari pacaran itu sendiri. Selain itu, tidak sedikit anak yang sudah
mulai meninggalkan budaya salam pada orang tua ketika hendak berangkat ke
sekolah.
Ah, jangankan anak-anak, bahkan orang dewasa yang telah ‘belajar’ banyak
pun sering terlupa dengan apa yang telah dipelajarinya. Mungkin, quote yang
berbunyi “Fitrahnya manusia untuk lupa” adalah benar. Oleh karena itu, jangan
pernah malu untuk diingatkan dalam kebaikan dan kebenaran, karena memang
manusia harus selalu dingatkan. Jangan ragu juga mengingatkan orang lain,
karena dari mengingatkan, kita juga bisa mengevaluasi diri mengenai pemahaman
kita mengenai kebaikan dan kebenaran.
Back to the point. Kasarnya, fisik seorang anak merupakan hasil ‘produksi’
fisik orangtuanya. Begitu pula dengan tingkahlaku dan karakter. Orangtua sangat
berperan penting dalam pembentukan tingkah laku melalui pembiasaan kepada anak,
dan pembentukan karakter melalui perlakuan kepada anak.
Namun, orangtua tidak saja menjadi pemeran tunggal dalam pembentukan
seorang individu. Ada faktor pembentukan dari lingkungan dan perkayaan dari
nutrisi bagi individu, sehingga menjadi individu yang sudah ‘jadi’ dan siap
menghadapi kehidupan dunia.
Dalam wild life, sudah ada hukum alam yang mendidik dan membentuk
makhluk hidup sesuai dengan polanya. Begitu juga dalam kehidupan manusia.
Namun, manusia yang memiliki akal, tentu saja akan selalu memikirkan jalan
terbaik bagi kehidupannya. Maka dari itu, gaya belajar dan pendidikan manusia,
tentu saja berbeda dengan hukum alam yang berlaku di alam liar. Manusia dengan
akalnya yang lebih sempurna dibanding makhluk lain, dituntut untuk membawa
kebaikan untuk dirinya dan manusia lain, serta menemukan pola yang sesuai untuk
keseimbangan alam.
Saya pernah iseng, bertanya kepada kawan-kawan mengenai perbedaan belajar
dan pendidikan. Rata-rata menjawab “Belajar lebih terdengar menyenangkan dari
pendidikan yang terkesan kaku dan terlalu formal”. Sedangkan ketika saya
bertanya apa bedanya guru dan pendidik, kebanyakan menjawab “Guru itu pasti pendidik,
sedangkan pendidik itu belum tentu guru, bisa saja dosen, orangtua, dan
lainnya”. Tapi, untuk perbedaan kali ini, saya pribadi lebih menyukai kata
pendidik.
Pendidikan sering dikaitkan dengan sebuah sistem. Sedangkan kebanyakan
individu saat ini, enggan bersentuhan dengan sistem, bahkan sebisa mungkin
menghindar. Namun, perlu kita sadari, bahwa pendidikan, yang didalamnya ada
proses belajar dari pembelajar, sebagai proses, perlu sistem untuk pengukuran
indikator yang jelas, sebagai standar untuk peningkatan mutu dan kualitas.
Sedangkan kata belajar, terdengar lebih ramah, karena belajar dikaitkan
dengan proses yang melibatkan peran aktif dari pembelajar. Peran aktif ini
dapat mengesankan bahwa pembelajar bisa memilih secara aktif, hal apa yang
ingin dipelajari oleh pembelajar tersebut. Ketika pembelajar menginginkan hal
yang ia pelajari, maka proses penerimaan informasi akan semakin mudah. Dan,
karena dianggap menarik, maka secara tidak sadar, pembelajar akan sering
me-recall informasi tersebut dalam bentuk asosiasi dalam kehidupan sehari-hari.
Mungkin itulah sebabnya ilmu terus mengalir pahalanya adalah ilmu yang terus
bermanfaat, karena selain pengaplikasiannya yang terus menerus, informasi
mengenai hal tersebut akan terus diingat dan bertambah karena sering diperbarui
secara tidak sengaja dalam pengapliaksiannya.
Terserah, kita mau memilih sudut pandang yang mana. Sudut pandang yang
lebih kompleks dimana pendidikan sebagai sistem dari proses, atau secara
sedernaha dimana belajar merupakan kebutuhan dan hak kita. Tetapi, penulis
sarankan, meski terlihat rumit, kita memiliki sistem pembelajaran sendiri,
minimal untuk diri kita sendiri, untuk keturunan kita, untuk orang-orang yang
sudah ditakdirkan secara ‘tidak sengaja’ belajar beberapa atau bahkan banyak hal
dari kita. Agar setidaknya, kita memiliki ukuran dalam mengukur diri secara
proposional, mengetahui kerurangan dan kelebihan kita sebagai bahan evaluasi,
dan dapat menempatkan diri pada peran yang proporsional sesuai dengan
kemampuan, minat, dan potensi diri kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar