Senin, April 30, 2012

dari Z-A, dari produk, proses, sampe esensi


12 tahun ditambah 4 semester saya melakoni kehidupan sebagai seorang pelajar di pendidikan formal. Seringnya saya mengeluh mengenai aktivitas belajar yang seolah-olah menjadi kewajiban. Padahal, belajar merupakan kebutuhan dari setiap manusia yang hidup dan beradab. Belajar juga merupakan hak bagi seluruh rakyat Indonesia (lihat pasal 28 UUD 1945).
Mungkin masih jelas di memori teman-teman, mengenai kasus seorang anak SD yang tega menusuk temannya sebanyak delapan tusukan karena temannya tersebut meminta hp yang telah dicuri oleh anak tersebut dikambalikan.
Ada juga cerita tentang anak TK islam yang sudah cukup terkenal dan memiliki cabang hampir diseluruh wilayah di Indonesia, yang senang merebut makanan milik temannya. Bayangkan, jika pemilik asal makanan tersebut tidak ridho, itu berarti, anak sekecil itu sudah memakan makanan haram. Selain itu, ada lagi cerita tentang anak yang senang mengambil barang milik pembantunya, padahal dia memiliki uang saku yang lebih besar nominalnya daripada dengan yang dicuri olehnya dari pembantunya.

Itu mungkin dari segi kriminalitas. Jika dilihat dari segi nilai moral dan norma, anak usia SD pun sudah mulai mencoba aktivitas baru bagi mereka, dengan label pacaran, padahal saya kira, mereka belum memahami apa sebenarnya arti dan tujuan dari pacaran itu sendiri. Selain itu, tidak sedikit anak yang sudah mulai meninggalkan budaya salam pada orang tua ketika hendak berangkat ke sekolah.
Ah, jangankan anak-anak, bahkan orang dewasa yang telah ‘belajar’ banyak pun sering terlupa dengan apa yang telah dipelajarinya. Mungkin, quote yang berbunyi “Fitrahnya manusia untuk lupa” adalah benar. Oleh karena itu, jangan pernah malu untuk diingatkan dalam kebaikan dan kebenaran, karena memang manusia harus selalu dingatkan. Jangan ragu juga mengingatkan orang lain, karena dari mengingatkan, kita juga bisa mengevaluasi diri mengenai pemahaman kita mengenai kebaikan dan kebenaran.
Back to the point. Kasarnya, fisik seorang anak merupakan hasil ‘produksi’ fisik orangtuanya. Begitu pula dengan tingkahlaku dan karakter. Orangtua sangat berperan penting dalam pembentukan tingkah laku melalui pembiasaan kepada anak, dan pembentukan karakter melalui perlakuan kepada anak.
Namun, orangtua tidak saja menjadi pemeran tunggal dalam pembentukan seorang individu. Ada faktor pembentukan dari lingkungan dan perkayaan dari nutrisi bagi individu, sehingga menjadi individu yang sudah ‘jadi’ dan siap menghadapi kehidupan dunia.
Dalam wild life, sudah ada hukum alam yang mendidik dan membentuk makhluk hidup sesuai dengan polanya. Begitu juga dalam kehidupan manusia. Namun, manusia yang memiliki akal, tentu saja akan selalu memikirkan jalan terbaik bagi kehidupannya. Maka dari itu, gaya belajar dan pendidikan manusia, tentu saja berbeda dengan hukum alam yang berlaku di alam liar. Manusia dengan akalnya yang lebih sempurna dibanding makhluk lain, dituntut untuk membawa kebaikan untuk dirinya dan manusia lain, serta menemukan pola yang sesuai untuk keseimbangan alam.
Saya pernah iseng, bertanya kepada kawan-kawan mengenai perbedaan belajar dan pendidikan. Rata-rata menjawab “Belajar lebih terdengar menyenangkan dari pendidikan yang terkesan kaku dan terlalu formal”. Sedangkan ketika saya bertanya apa bedanya guru dan pendidik, kebanyakan menjawab “Guru itu pasti pendidik, sedangkan pendidik itu belum tentu guru, bisa saja dosen, orangtua, dan lainnya”. Tapi, untuk perbedaan kali ini, saya pribadi lebih menyukai kata pendidik.
Pendidikan sering dikaitkan dengan sebuah sistem. Sedangkan kebanyakan individu saat ini, enggan bersentuhan dengan sistem, bahkan sebisa mungkin menghindar. Namun, perlu kita sadari, bahwa pendidikan, yang didalamnya ada proses belajar dari pembelajar, sebagai proses, perlu sistem untuk pengukuran indikator yang jelas, sebagai standar untuk peningkatan mutu dan kualitas.
Sedangkan kata belajar, terdengar lebih ramah, karena belajar dikaitkan dengan proses yang melibatkan peran aktif dari pembelajar. Peran aktif ini dapat mengesankan bahwa pembelajar bisa memilih secara aktif, hal apa yang ingin dipelajari oleh pembelajar tersebut. Ketika pembelajar menginginkan hal yang ia pelajari, maka proses penerimaan informasi akan semakin mudah. Dan, karena dianggap menarik, maka secara tidak sadar, pembelajar akan sering me-recall informasi tersebut dalam bentuk asosiasi dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin itulah sebabnya ilmu terus mengalir pahalanya adalah ilmu yang terus bermanfaat, karena selain pengaplikasiannya yang terus menerus, informasi mengenai hal tersebut akan terus diingat dan bertambah karena sering diperbarui secara tidak sengaja dalam pengapliaksiannya.
Terserah, kita mau memilih sudut pandang yang mana. Sudut pandang yang lebih kompleks dimana pendidikan sebagai sistem dari proses, atau secara sedernaha dimana belajar merupakan kebutuhan dan hak kita. Tetapi, penulis sarankan, meski terlihat rumit, kita memiliki sistem pembelajaran sendiri, minimal untuk diri kita sendiri, untuk keturunan kita, untuk orang-orang yang sudah ditakdirkan secara ‘tidak sengaja’ belajar beberapa atau bahkan banyak hal dari kita. Agar setidaknya, kita memiliki ukuran dalam mengukur diri secara proposional, mengetahui kerurangan dan kelebihan kita sebagai bahan evaluasi, dan dapat menempatkan diri pada peran yang proporsional sesuai dengan kemampuan, minat, dan potensi diri kita.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar