Well, saya juga tidak sepenuhnya menyanggah pendapat sahabat saya itu. Hanya saja, realitas hidup ini memang sangat erat kaitannya dengan takdir. Entah kenapa saya sangat percaya dengan alur takdir yang sudah dirancang oleh Tuhan semesta, Allah. Saya tidak suka berspekulasi, tapi saya berusaha meyakini janji-janji pembalasan dari Allah. Jadi, hasil tercapainya keinginan atau ide, disebabkan oleh salah satu faktor yang amat besar, yaitu takdir Allah. Adapun semua hal yang terjadi, tak pernah sia-sia. Seperti halnya pohon yang telah ditebang, tetap saja daun dan kayunya memiliki manfaat.
Dari beberapa kali saya berdiskusi dengan sahabat saya tersebut, terdapat beberapa poin yang sebenarnya setujuan, hanya berbeda jalan pemikirannya. Dari situ saya menyimpulkan bahwa sahabat saya dalam memandang dan menyakini suatu hal, lebih realistis dan matrealis (meski awalnya saya kira dia sebaliknya), karena dia meyakini suatu hal dengan penginderaannya, yaitu menindera kenyataan dan mencari kebenaran. Sedangkan saya (menurut subjektivitas saya sendiri), lebih idealis dalam meyakini suatu hal. Saya lebih cenderung dalam menyakini kebenaran, kemudian mencari kenyataan dalam mengindera suatu hal.
Sebetulnya bukan hal yang perlu dikomparasi, karena proses awal, tengah dan akhir tidak memiliki kesamaan untuk dikomparasi perbedaannya. Adapun, komparasi yang saya lakukan ini karena berada dalam satu konsep yaitu konsep keyakinan. Saya tidak melihat kejelekan dalam kedua proses ini. Kami berbeda karena kami terlahir dan tertakdir berbeda. Hanya saja, saya merasa menyayangkan karena resiko teman saya dalam menapaki jejak kehidupan, lebih terlihat curam dan gelap. Hal tersebut tidak membuat saya merasa lebih aman dalam melangkah. Tempat terang kadang terlihat menyilaukan orang dari tempat gelap. Karena masalah cahaya hanya sebuah relativitas dan pembiasaan, maka semua hal bisa berubah.
Biarkan setiap orang berada dalam takdir dan romansanya dengan Tuhan. Karena keindahan kehidupan dunia hanya romantisme dari kenangan belaka. Adapun kenyataan berada pada iman dan ikhtiarnya membuktikan keimanannya sendiri. Adapun, diri hanya perlu menunjukan cara terindah dalam menikmati iman dan ikhtiar dalam mencintai Tuhan, karena cara tidak datang pada fungsi kognitif individu secara tiba-tiba tanpa rangsang.
KAmar Sarijadi, 10 menit menjelang bulan november 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar