Selasa, Juli 07, 2015

Anyeong!

   
   ***
   Hujan. Aku menatap butiran air yang terciprat di jendela kelasku. Aku menghela nafas. Hari itu aku harus menyerahkan tugas ke rumah Bu Firda, menghadiri rapat persiapan event peringatan sejarah dengan komunitas museum, dan pergi les.
   Bel penanda pulang memang sudah berbunyi sejak tadi. Hujan yang tidak menunjukan tanda-tanda reda membuatku ragu untuk meninggalkan sekolah. Tapi, aku terdorong dengan kewajibanku memenuhi agenda hari itu. Aku menatap sepatuku.
   Mari kita menari dalam hujan sayang.
  
 Aku mengambil tas ku dan berjalan menyusuri lorong, hendak meninggalkan sekolah. Tapi aku berniat membeli beberapa bungkus kecil wafer coklat terlebih dahulu di kantin. Coklat tidak pernah gagal menjadi mood booster-ku.

   Ketika sampai di kantin, aku melihat seseorang yang sedari tadi aku cari, sedang asik makan mie. Eka, teman satu divisi-ku dalam event museum kali ini.
   “Eka!”, aku menepuk bahu orang yang sedang makan itu.
   Orang itu hampir tersedak karena terkejut.
   “Ngagetin aja!”, Eka menegurku dengan nada kesal.
   “Seleksi olimpiade nya udah beres?”, aku bertanya langsung pada intinya.
   “Udah. Tinggal nunggu pengumuman”, Eka menjawab sambil mengunyah mie dalam mulutnya.
   “Anterin ke rumah Bu Firda ya? Ngasihin tugas. Biar sekalian ke museumnya”, pintaku.
   Eka diam saja, melanjutkan makannya.
   “Eka!”, aku memanggilnya lagi, memastikan dia mendengarku atau tidak.
   “Tadinya males ngumpul di museum”, jawabnya cuek.
   Aku melotot kesal.
   “Iya, dianterin. Ini makan dulu”, jawabnya singkat sambil melanjutkan menikmati mie-nya.
   Aku menunggunya sembari memainkan ponsel. Sedikit senyum tersungging di bibirku, senyum bahagia sepertinya. Entah darimana.
   ***
   Eka menyerahkan satu set jas hujan padaku setelah ia mengambil satu untuknya. Aku membukanya dan bingung karena yang diberikan adalah jas hujan celana, sedangkan aku memakai rok seragam.
   “Aku gak pake bawahnya ah. Ga enak, aku pake rok”, sambil menyerahkan celana jas hujan tersebut.
   “Kamu gak pake leging?”, tanyanya dengan wajah datar.
   Aku merasa risih sebetulnya ditanya seperti itu.
   “Pake, cuma gak enak. Masa harus lepas rok?”, aku beralasan.
   Eka kemudian membuka rain cover tas-nya, membuka tas-nya, mengeluarkan celana olahraga dan memberikannya padaku.
   “Nih, pake. Daus baru balikin. Katanya sih udah di cuci”, jelas Eka.
   Aku melengo. Aku agak risih sebenarnya. Aku tidak biasa meminjam pakaian dari teman, apalagi anak laki-laki, meskipun itu bersih sudah dicuci.
   “Malah bengong. Cepetan sana ganti!”, perintahnya lagi.
   Aku segera berbalik menuju toilet.
   “Put!”, panggil Eka lagi. Aku menengok lagi ke arahnya, setelah berjalan beberapa langkah.
   “Nanti kalau aku gak ada di parkiran, aku ke minimarket sebrang ya”, tambahnya.
   Aku mengangguk dan segera berlari menuju toilet. Entah kenapa aku merasa jantungku berdebar lebih keras sekarang.
   ***
   Aku menunggu di depan minimarket setelah melihat Eka tidak ada di tempat parkir motor dan menemukan motornya terparkir di depan minimarket. Tak lama ia kemudian keluar dengan dompet dan barang-barang belanjaan di tangannya. Sekotak minuman kopi instan dan sebungkus rokok. Ia kemudian memasukan belanjaannya itu kedalam tas.
   Aku membuang pandanganku darinya. Satu-satunya hal yang tidak bisa aku terima dari kebiasaan Eka, merokok. Aku juga tak begitu berani menegurnya. Aku takut ia merasa tak nyaman dengan teguranku.
   Aku disadarkan oleh ajakan Eka untuk segera menaiki motor. Aku segera mengikutinya menuju motor yang terparkir di pinggir jalan itu.
   ***
   Waktu itu, aku menggantikan Ibu-ku yang mengontrakan kamar kepada Eka, untuk menyambut Eka dan orangtuanya. Awalnya Eka menyangka aku adalah Ibu Kost saat ia pertama kali kami bertemu. Perawakan badanku yang agak besar, wajahku yang mungkin agak boros, menurut Eka, dan setelan daster panjangku memang mendukung orang untuk mengira bahwa aku adalah ibu-ibu.
   Kami baru saling mengenal dua bulan, sejak Eka pindah ke kota ini. Katanya, ia ingin menjadi anak rantau di kota ini agar mempermudahnya masuk perguruan tinggi favorit di kota ini, dengan fasilitas kota yang lebih lengkap. Untung saja kedua orangtua Eka setuju untuk memindahkan sekolahnya saat Eka duduk di kelas XI.
   Kami sebenarnya tidak terlalu dekat, hanya sering berinteraksi karena kami satu kelas di sekolah. Selain itu, ia juga kami ternyata mengikuti komunitas kota yang sama. 
   ***
   Aku dan Eka tidak terlalu lama singgah di rumah Bu Firda. Kami hanya menyerahkan tugas dan buru-buru pamit karena harus segera memenuhi agenda rapat di museum.
   Aku tak banyak bicara dengan Eka di jalan. Kami membisu sepanjang jalan, menikmati tiap tetesan hujan yang menerpa kaca helm. Aku menikmati udara dingin hujan, namun tetap terasa hangat dihati.
   ***
   “Kamu pernah pacaran, Put?”, tanya Eka sambil mengaduk mangkuk basonya, di suatu petang, saat kami pulang dari kegiatan komunitas museum.
   Aku menggeleng.
   “Sekalipun?!”, Eka sedikit terkejut.
   Aku mengangguk lagi, sambil menambahkan sambal di mangkok basoku.
   “Kamu?”, aku balas bertanya.
   “Pernah, sekali. Sama cewek di kotaku”, jawabnya singkat.
   Ah, ya. Bukankah lelaki di suku-mu selalu mencari wanita yang se-suku lagi, gumanku dalam hati. Aku teringat sebuah cerita seorang teman yang orantuanya berasal dari kota yang sama dengan Eka.
   Mereka baru boleh nikah dengan suku lain kalau sudah menikah dengan salah seorang diantara suku yang diizinkan oleh suku mereka, cerita kawanku itu kembali terngiang spontan setelah mendengar jawaban Eka.
   “Oh, LDR-an ya?”, tanyaku datar, padahal ada sedikit gejolak dihatiku.
   “Enggak, kok”, jawabnya datar juga.
   Oh, jadi pacarnya di kota ini juga. Aku lemas, dan jadi tak fokus mendengar cerita dari Eka selanjutnya.
   ***
   “Put, aku gak jago ah kalau harus nemenin tamu ngobrol gitu”, Eka menginterupsi saat rapat internal divisi kami.
   “Gak bisa apa belum nyoba?”, godaku.
   “Gak!”, tegasnya.
   “Lagian kamu kan cuma menyambut, Ka! Ngajak ngobrolnya cuma sebentar, sampai ada guide yang free buat nemenin. Kan undangan gak begitu banyak”, aku pura-pura kesal, padahal tidak, agar terkesan serius.
   Aku melihat Eka menghela nafas, seperti berat hati menerima tugasnya.
   Aku tak tega.
   ***
   “Eka, aku les dulu. Kamu balik duluan aja ya”, aku segera mendekati Eka setelah selesai kumpul.
   Eka membalasku hanya dengan anggukan dan jawaban singkat, “Iya.”
   “Ngambek ya, Ka?”, tanyaku khawatir.
   “Enggak”, jawabnya lagi, singkat.
   “Beneran?”, aku masih belum yakin.
   “Serius”, jawabnya datar. Aku masih khawatir, tapi berusaha percaya.
   “Sholat dulu ya”, ujar Eka yang kemudian berbelok ke arah mushola.
   Aku lupa, malah jalan lurus terus menuju pintu keluar museum. Kemudian aku berbalik arah dan segera mengikuti Eka.
   “Barengan ya? Kamu imamin”, pintaku.
   Kulihat Eka mengangguk. Aku tersenyum lebar. Rasanya senang sekali.
   ***
   “Nanti kamu nyanyi ya, Put?”, pinta Eka suatu hari saat kami diminta hadir di acara karang taruna RW. Permintaan itu langsung disoraki dukungan penghuni-penghuni kosan Ibu yang juga diundang.
   Sontak aku manyun. Kesal. Aku tahu itu dimaksudkan untuk mengejekku.
   “Ghan, nanti di panggung nyanyi lagu In a Rush ya?”, pintaku pada Afghan, salah satu penghuni kos yang pandai menyanyi, mengalihkan isu.
   Afghan langsung bernyanyi sambil bergaya sok profesional. Gaya Afghan itu langsung diramaikan oleh riuh sorakan penghuni lain.
   Yes, berhasil! Aku senang.
   Mereka mempercepat langkah menyusul Afghan yang semakin cepat berjalan di depan, sehingga aku yang masih berjalan santai agak tertinggal dengan beberapa penghuni yang juga berjalan santai.
   May be someday, i’ll find the way to say
   Just what you mean to be
   But if that day never come along, and you never hear this song
   I guess you never know
   
Aku agak kaget lantunan suara itu bukan berasal dari Afghan yang sudah berjalan jauh di depanku. Suara berat itu aku kenal dengan jelas. Dia berjalan di sampingku, sambil mengalunkan pelan lagu kesukaanku. Aku tersenyum, menahan geli. Mungkin wajahku sekarang memerah.
   Suaramu gak bagus, Eka!, gumanku dalam hati.
   ***
   Mangkok baso kami sudah agak lama habis, tapi kami belum beranjak. Eka belum menghabiskan batang rokoknya. Aku berusaha menahan nafasku dengan Eka yang merokok di hadapanku. Kata Eka, sulit untuk menghentikan kebiasaan merokok setelah makan.
   Aku berusaha bersikap biasa saja, meskipun sebenarnya aku tak tahan. Jika dia bukan Eka, sudah aku marahi habis-habisan dia. Tapi karena dia Eka, keberanianku sedikit terkoyak, aku yang galak tiba-tiba jadi seperti kucing disiram air, menyedihkan. Dilema antara menikmati kebersamaan dan tersiksa oleh asap rokok.
   ***
   Aku bersyukur pada Pengatur takdirku. Dia menghadirkanmu dalam hidupku, mengikat namamu dalam sebuah lembar hidupku, merahasiakan hatimu, menunda kepastian takdir kita, untuk membuatku berpikir.    ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar