Rabu, Agustus 19, 2015

Rindu

Sore. Aku sempatkan diri menatap gedung perpustakaan. Ada sedikit harap tersimpan tentang pertemuan tanpa sengaja dengan Farhan di gedung itu, seperti tanpa sengaja aku bertemu dengan teman-teman lain di gedung perpustakaan. Ya, semua temanku, kecuali Farhan. Mereka Farhan juga sering mengunjungi gedung perpustakaan, karena mereka sering bertemu dengannya juga di gedung perpustakaan. Tapi entah kenapa, sesering apapun aku mengunjungi gedung perpustakaan itu, aku tidak pernah melihatnya meski seujung kuku.  

Matahari menyorot gedung perpustakaan dengan jingga yang mesra. Senja memang hampir tiba. Aku memang rasanya ingin berada lebih lama di kampus, tapi aku pikir tidak akan baik jika aku pulang terlalu malam. Derap langkah menuju gerbang depan semakin terasa berat, ketika jika aku melewati gedung fakultas ekonomi, fakultas dimana Farhan menjadi mahasiswanya. Desir-desir harap semakin berhembus kencang seperti angin sore ini. Aku mengatur nafas dan langkahku agar menjadi lebih anggun, meski jantungku berdegup sangat kencang, hingga habis gedung fakultas ekonomi aku lewati.  
Lega rasanya. Entah kenapa. Aku sekarang melanjutkan langkah menuju gerbang depan kampus. Tapi masih ada sedikit rasa aneh yang sejak tadi belum hilang sepenuhnya. Rindu? Hem, bisa jadi. Rasanya memang hanya Farhan, teman SMA yang satu kampus denganku, tapi tidak pernah aku temui sejak buka puasa bersama SMA yang terakhir aku hadiri, tiga tahun lalu. Tapi aku ragu, sejauh dan sedalam rindu yang membuat sukmaku merasa gatal tiap mengingat namanya.  
Sore hampir habis berganti senja. Duduk di angkutan umum ini pun masih membuatku sedikit berharap. Guratan-guratan jingga yang hampir pudar dari langit semakin membuatku gundah. Aku mengecek ponselku, melihat namanya dalam daftar kontak di ponselku.
Haruskah aku menghubungi dan menyapanya? Tapi, apa yang harus aku katakan jika dia bertanya mengenai apa keperluanku? Apakah nomor ponselnya tetap sama. Apakah ia sedang sibuk? Apa dia sedang bercengkramandi ponsel dengan orang lain? Siapa itu?
 
Ah. Bodoh. Aku pikir sebaiknya aku tidak usah menghubunginya. Aku tidak ingin menganggunya. Mungkin selama ini, yang aku pikirkan hanya salah paham saja. Kalaupun yang aku pikirkan benar, aku pikir dia sudah melewatkan dan melupakannya. Ini sudah terlalu lama, tiga tahun.  
Aku sengaja melirik ke arah gang masuk menuju tempat kost Farhan saat angkutan umum yang aku naiki melewatinya, masih sangat sedikit berharap dia keluar dari gang itu. Setidaknya aku bisa melihatnya saja. Apa dia masih kost di tempat yang sama? Ternyata tidak ada. Aku sengaja menyembunyikan wajahku dibalik telapak tanganku. Lelah rasanya olah raga jantung ini. Tiap berada di area kampus, jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Wajahku terasa panas sekarang.  
Aku sangat sedikit berharap Farhan ada di dekat sini sekarang. Apa dia ada tapi terlewatkan oleh pandangan mataku? Mungkin orang yang baru naik angkot barusan dan duduk disebelahku sekarang adalah Farhan. Aku memberanikan diri sedikit, membuka wajahku dan mengecek kebenaran perasaanku. Dan aku salah. Seseorang yang duduk disebelahku adalah orang lain, bukan Farhan.  
Aku lelah. Aku memilih menutup lagi wajahku, menundukan kepalaku dan memilih tertidur di posisiku sekarang ini, di pojok angkot. Aku sangat tidak berharap ada Farhan di angkot ini. Perjalanan pulangku masih panjang.
(Dan ternyata Farhan duduk di sebelah jok supir, tidak menyadari ada aku juga di angkot yang sama.) ***
Sore itu hujan baru berhenti. Aku segera pamit pada teman-teman yang masih asik mengerjakan skripsi di perpustakaan.
"Pit, pulang bareng aja yuk!", ajak Maya, salah satu teman kuliahku.
"Aku pulang sekarang.. Kamu, kapan?", aku agak buru-buru karena tidak ingin pulang malam.
"Iya, ayok sekarang!", Maya pun sudah bangkit hendak meninggalkan perpustakaan denganku.
Setelah pamit dengan teman-teman lain, aku dan Maya segera keluar dari perpustakaan.
"Pit, motorku di parkir di gerbang samping. Gak papa ya?", aku mengangguk. Ya, aku kan hanya menumpang.  
Saat hendak berbelok dari jalan perpustakaan menuju gerbang samping, aku seperti melihat sosok yang selama ini aku cari. Farhan! Aku hampir tidak mempercayai mataku. Tapi aku ingat benar, jaket yang dipakainya sekarang adalah jaket kesayangan Farhan sejak SMA. Aku masih sedikit bisa mengenalinya meski sepertinya ia bertambah tinggi dan besar, juga memakai kacamata. Aku mengumpulkan keberanianku..
"Farhan!", aku agak berteriak.
Sosok yang aku panggil menoleh. Ekspresi wajahnya seperti biasa, datar.
"Hey, Pit!", jawabnya, langkahnya berhenti, langkah kami terhenti.
Tapi tidak dengan langkah Maya dan seorang laki-laki disampingnya Farhan, mungkin temannya Farhan. Aku terpaksa mengikuti langkah mereka dan mengesampingkan kenyamananku berbicara dengan Farhan.
"Kamu udah beres?", tanyaku pada Farhan. Aku bersumpah, itu adalah pertanyaan paling standar.
"Belum, masih proses. Kamu udah dimana sekarang?", Farhan bertanya balik.
"Aku belum lulus, Farhan! Masih skripsi juga", tegasku.
"Loh, bukannya kamu udah lama lulus?".
"Belum... Shafira  yang udah lulus", aku menyebut salah seorang sahabat SMA kami yang kuliah satu kampus dan satu jurusan denganku.
"Oh", jawabnya pendek.  
Aku melihat Maya sudah semakin jauh di depan kami.
"Aku duluan ya", aku melambaikan tangan tanda pamit pada Farhan dan segera mempercepat langkahku menyusul Maya. Setelah Farhan mebalas lambaian tanganku tanpa mengatakan apapun, aku berbalik kedepan dan  berlari kecil menyusul Maya. Aku tidak bisa menahan diriku, mungkin saat ini wajahku sangat sumingrah dan terlihat bahagia.
"Temen SMA, Pit?", tanya Maya. Aku mengangguk. Aku menyembunyikan euforia ini dengan membicarakan beberapa hal lucu bersama Maya tentang teman-teman kami di jurusan. Aku tidak berharap sedikitpun dan memikirkan sedikitpun tentang Farhan seperti biasanya setiap aku pergi ke kampus dan perpustakaan. Aku terlalu memikirkan tentang feedback bimbingan hari ini.
Aku bersyukur, karena Tuhan menjawab satu doaku tentangnya hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar