Sudah lebih dari satu tahun aku tidak bertemu dengan mereka. Kangen yang sudah ditumpuk, sekarang seperti hotplate panas yang disiram air, asapnya menguap di udara. Aku rindu suasana seperti ini. Tahun lalu, hampir setiap hari selama satu bulan kami selalu bersama dan sudah melihat jelek dan bagus dari masing-masing kami. Sudah seperti keluarga sendiri.
Pertemuan kali ini tidak di tempat yang mewah, tapi di tempat dimana kami pertama kali bertemu, depan perpustakaan kampus. Kali ini kami piknik di taman sekitar kampus saja. Aku yang memang tidak terlalu banyak bicara, hanya banyak memperhatikan dan menikmati tawa mereka.
Sebetulnya hal yang membuatku berdebar sedari tadi. Handrian. Sikap diam dan cueknya masih sama. Tapi aku menikmati perasaan berdebar ini. Aku pura-pura acuh dan memperhatikan percakapan teman-teman yang lain, meski kadang aku berusaha mencuri pandang kepadanya. Aku berusaha terlihat cuek.
Lama kelamaan aku bisa menahan diri untuk tidak selalu mencuri pandang kepada Handrian, aku bisa mengalihkan perhatianku pada Baby Kikan, putri Karin salah satu anggota kelompok kami yang menikah tak lama setelah KKN selesai. Tapi aku merasa Handrian yang kini memandangiku. Namun ketika aku melihat kearahnya, dia sedang mengobrol dengan yang lain. Tapi tak lama setelah aku bermain kembali dengan Kikan, aku merasa Handrian memandangiku. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mengeceknya. Tapi, ketika mengeceknya, Handrian wajah ternyata terhalang oleh Fahmi dan Tian. Aku tidak bisa memastikan bahwa itu benar atau tidak. Aku pikir, itu hanya perasaan GR-ku saja karena aku masih menyukai Handrian. Dan aku merasa Handrian memperhatikanku lagi saat aku membantu Karin mengurus makanan Baby Kikan. Tapi sekarang aku mengabaikannya, aku takut itu memang hanya perasaanku saja.
Selesai makan, aku membereskan makanan yang masih berantakan di tikar dan mengepaknya kembali. Aku merasa Tian yang duduk di dampingku menggerak-gerakan badannya ke depan dan belakang secara aneh.
“Ko gitu-gituan sih?”, tanyaku penasaran.
“Ga, ga kenapa-kenapa kok!”, Tian menjawabnya dan memberikan senyum lebar.
Aku tak ambil pusing karena memang aku pikir hal itu tidak terlalu mengganggu. Tapi Tian melakukan gerakan aneh itu lagi.
“Kenapa sih, Yan?”, aku penasaran.
Pertanyaanku hanya dibalas senyum lebar dan kerlingan matanya yang seperti ingin menunjuk ke arah sampingnya yang lain, Handrian. Aku manyun dan mengambil semua tempat bekas makanan untuk dimasukan ke mobil Karin.
“Cha, mau dibantuin?”, tanya Tian.
“Mau”, aku antusias dengan bantuan itu.
“Yuk ah, Han!”, ajak Tian sambil mengambil semua piring kotor di hadapanku.
Handrian lalu bangkit dan mengambil beberapa rantang yang sedang aku bawa. Sontak jantungku semakin berdegup kencang.
Aku agak linglung untuk meneruskan langkah ke mobil Karin, tapi aku segera memantapkan diri untuk melangkah lagi. Aku mendengar beberapa suara tawa kecil dan godaan dari beberapa orang. Apa kegugupanku begitu terlihat?
Aku melangkah pelan sedangkan Tian dan Handrian sudah melangkah lagi ke arah tikar dimana kami berkumpul. Mereka awalnya melewatiku, tapi Tian memanggilku lagi.
“Cha, itu sisanya dibawaain Handrian aja katanya!”, teriak Tian sambil agak tertawa. Kulihat Handrian hanya memandangku datar.
Aku menggeleng sambil tersenyum, “Gak usah!”, aku menolaknya dengan agak berteriak juga karena jarak kami agak jauh.
Aku lalu berbalik dan melanjutkan perjalananku ke arah mobil Karin dengan perasaan tidak karuan. Aku harap Tian sedang memarahi Handrian karena tidak peka kepadaku.
Setelah aku kembali dari mobil aku lihat teman-teman sedang heboh tertawa. Aku belum tau apa yang mereka tertawakan. Aku juga sudah tidak melihat Handrian.
“Ketawa apa sih ini?”, tanyaku pada mereka.
Mereka kemudian meredakan tawa mereka menjadi lebih tenang setelah melihatku.
“Ehehe. Gak kok Cha, ini si ada yang lagi cinlok katanya”, jelas Karin sambil tertawa kecil, sisa dari tawa tadi.
“Oya? Siapa ke siapa?”, aku penasaran.
“Aku!”, Tian mengacungkan tangannya.
“Sama siapa?”, tanyaku antusias dan ingin tahu.
“Kamu”, katanya sambil tersenyum menatapku.
Aku melengo. Shock.
Semua langsung menggodaku dan Tian. Tian tertawa-tawa. Aku masih tidak mengerti.
“Apaan sih ini?! Ada kamera? Acara suppertrap?”, kataku sambil berusaha menghilangkan keterkejutanku.
“Aduh ada cinta segitiga nanti. Hahaha”, Fahmi lalu tertawa keras di ikuti oleh yang tawa lainnya.
Aku tidak mengerti.
“Aku cuma mengutarakan isi hati seseorang aja yang gak berani bilang”, jelas Tian.
Aku semakin tidak mengerti.
“Ah, Tian bohong! Cuma memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan aja! Modus! Hahaha”, cecar Rizky.
“Jadi ini teh gimana maksudnya? Ada yang suka sama aku?”, aku berusaha memahami kondisi.
“Iyaaaa”, semua kompak menjawab.
“Siapa?” tanyaku lagi.
“Si Tian suka sama kamu”, kata Fahmi menerangkan.
Tian? Suka padaku? Diumukan seperti ini? Tidak mungkin. Ini pasti cuma main-main.
“Oh..”, jawabku santai, sudah pasti ini main-main.
“Jadi?”, tanya Fahmi.
“Kamu suka dia gak?”, tanya Fahmi lagi.
Aku kaget dan bingung harus jawab apa, tapi aku sembunyikan itu semua. Spontan aku mengedipkan sebelah mataku pada Tian sambil pura-pura tersenyum malu. Tian pun terbahak-bahak melihat aksiku itu.
Aku yakin tidak mungkin seperti itu, aku sudah tahu Tian sejak SD. Sangat tahu.
“Kamu mau dia nerima gak?”, tanyanya Rizky.
“Nerima apa?”, tanyaku pura-pura tidak mengerti.
“Jadi pacar?”, Rizky ingin diperjelas.
“Ih.. Nanti Dani ngambek, aku gak mau ah”, aku mengelak dengan menyebutkan nama Dania, pacar Tian.
“Iyaaa.. Setuju. I love Dania! I’m sorry Cha.. I just can’t loving you..” teriak Tian keras sambil berekspresi drama. Aku tahu dia pasti takut ada yang melihat ini dan melaporkannya pada Dania.
Aku hanya bisa tertawa.
Selama obrolan lainnya, aku hampir selalu disinggung. Aku agak capek menanggapinya sehingga aku pura-pura ke toilet sebentar. Aku mencari gedung fakultas Ekonomi yang paling dekat dengan taman, sehingga aku harus masuk ke sana untuk ke toilet terdekat.
Ada perasaan berdebar masuk ke gedung ini. Disini adalah gedung dimana Handrian sering berkuliah atau bimbingan mungkin. Memang setiap melewati gedung ini, aku selalu merasakan perasaan seperti ini, tapi kali ini lebih banyak karena aku memasuki gedung ini.
Aku mencari toilet dan bertemu dengan Handrian di depan pintu toilet.
“Kemana, Cha?”, tanyanya.
“Toilet”, aku berusaha menenangkan detak jantungku yang semakin cepat setelah melihatnya.
“Kamu tadi kemana dulu?”, aku ingin tahu kenapa dia menghilang tadi.
“Ngumpulin dulu tugas. Ini mau kesana lagi”, jawabnya singkat.
“Oke aku ke dalem dulu ya?”, aku hendak pamit, tapi dia lalu memanggilku.
“Cha..”
“Ya?”
“Bareng aja, ya? Aku tunggu disini oke?”, tawarnya. Aku merasa berbunga-bunga.
Tapi kemudian itu buyar setelah melihat Handrian melangkah pergi menuju lift setelah mengobrol dengan dalah satu temannya di depan pintu toilet. Ah, ya. Aku ingat, tadi itu hanya khayalanku saja. Aku baru melihat Handrian saja, belum berani menegurnya. Aku menghela nafas panjang dan berat.
***
Inspirasi : AKMU- Give Love
Sudah lama ditulis, tapi baru di post. Hadiah akhir tahun buat yang suka mampir xoxoxo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar