Selasa, April 12, 2011

Cerpen Fiksi :Unsaid

Ria bergegas lari setelah turun dari angkot. Ia tahu sudah terlampat untuk menghadiri les, tapi sedikitnya ia masih berharap untuk masih bisa mengisi absen. Setengah berlari Ria mencoba mempercepat langkahnya. Hingga ia tiba di depan pintu kelas, dan dengan terburu-buru membuka pintu kelas.
Sesosok lelaki yang baru dikenalnya 2 pekan lalu duduk tepat di kursi dekat pintu masuk, mengadahkan kepalanya untuk melihat siapa yang membuka pintu
dengan kasar. Tak begitu mecolok dan menarik perhatian. Hanya saja kali ini terasa lain bagi Ria. Sosok itu tiba-tiba saja menjadi sosok yang sangat tak asing baginya. Padahal ketika bertemu sebelumnya, rasanya berbeda sekali perasaan itu dengan hari ini.
Sejenak Ria menjadi kaku. Serasa berada dalam dunia lain yang begitu indah dan sunyi.
“Silahkan masuk, Dek..”.
Kakak pengajar les mempersilahkan Ria masuk karena melihat Ria terpaku di pintu. Ria langsung tersadar kembali. Kakak pengajar salah paham mengira Ria terpaku karena Ria merasa bersalah terlambat datang.
Dengan sedikit canggung, Ria akhirnya masuk dan duduk di kursi belakang. Namun, Ria masih curi-curi pandang pada sosok lelaki itu. Lelaki yang bahkan ia belum tahu namanya. Ketika kakak pengajar mulai menerangkan kembali materi pun, Ria masih tak bisa fokus.
***
Di kantin tempat les....
“Do, siapa sih anak itu?”, Ria bertanya pada Edo sahabatnya.
“Yang mana?”, dengan mulut penuh makanan mencoba memfokuskan diri pada Ria.
“Itu! Yang lagi beli roti, yang sekelas ama kita!”
“Oh, Fauzi?”
 “Oh, namanya Fauzi ya?”
“Emang kenapa?”, Edo mulai penasaran.
“Nanya doang. Masa ama sekelas gatau nama”, Ria beralibi.
“Makanya kenalan!”
“Ah, ntar juga kenal sendiri..”, Ria meneruskan kembali makannya.
Tanpa curiga Edo pun melanjutkan kembali makannya. Sementara itu Ria masih mencuri pandang pada Fauzi.
Hmmm.. Namanya Fauzi ya... , guman Ria dalam hati.
***
Perkataan Ria pada Edo ketika di kantin ternyata tidak terbukti. Fauzi orangnya sangat tertutup dan selektif memilih teman. Bahkan Edo pun kurang terlalu dekat dengan Fauzi. Ria akhirnya menjadi sedikit kesulitan untuk berkomunikasi dengan Fauzi. Ria yang biasanya periang pun menjadi agak tertutup dan sangat pemalu jika berhadapan dengan Fauzi.
Hal ini berkaitan dengan perasaan Ria pada Fauzi. Entah kenapa Ria justru semakin suka pada Fauzi. Debaran itu selalu muncul setia Ria melihat sosok Fauzi, dimanapun mereka tak sengaja bertemu. Namun, kasus yang sama berulang, Ria menjadi kaku dan tak bisa berkata apa-apa.
Edo pun sudah curiga pada polah Ria yang aneh.
“Lu naksir tu anak ya?”, Edo sempat memberikan Ria pertanyaan menyelidik.
“Siapa?”, Ria sebetulnya sudah bisa menebak yang dibicarakan Edo. Namun, Ria memilih untuk pura-pura tidak tahu agar perasaannya tak terbongkar.
“Ah, pilun lu. Itu si Fauzi!”
“Ah! Elu mah ngaco!”
“Apa bagusnya sih tu anak?”, dari gesture nya Edo seperti menanyakan hal itu pada diri sendiri, padahal sebetulnya Edo bermaksud menyindir Ria.
Ria memilih diam.
***
Hari ini terakhir les karena tahun depan mereka sudah mulai tidak duduk di bangku SMA lagi. Ujian masuk universitas tinggal 1 minggu lagi. Dan sampai detik ini, Ria masih penasaran dengan kemisteriusan Fauzi. Ria hanya sempat berbicara beberapa kali dengan Fauzi, itu pun untuk menanyakan dimana Edo, meminta lembar soal yang harus dibagikan. Kesempatan terakhir Ria untuk berusaha lebih dekat dengan Fauzi.
Tapi sesungguhnya Ria sudah agak frustrasi. Ria sudah tak berharap banyak, meski hati kecilnya masih berteriak nama Fauzi. Ria merasa tak banyak kesamaan yang bisa membuat mereka bersatu. Ria nyaris menyerah.
Namun, Ria tak lantas putus asa. Ria bertekad untuk berusaha lebih hari ini. Ria berencana untuk meminta contac person teman-teman sekelasnya di tempat les, jadi secara tidak lansung dia juga akan mendapatkan nomor contac Fauzi. Ini kesempatan terakhir, karena Ria tahu ketika Try Out, universitas impian Fauzi berlokasi di luarkota. Sedangkan universitas impian Ria masih berada di Bandung. Jadi Ria tidak tahu kapan mereka akan bertemu lagi.
Ria mempersiapkan segalanya untuk hari ini, dari mulai redaksi kata ketika meminta nomor contac pada teman-teman, alibi, hingga gesture agar tak menarik curiga. Ria benar-benar berusaha untuk hari ini. Bahkan Ria datang lebih awal agar tak terlalu panik dan grogi.
Kelas dimulai, namun Fauzi belum datang. Ria menunggu dengan sabar, karena memang kelas baru terisi 50%. Ria berusaha menenangkan diri dengan meminta no contac pada teman-teman lain yang sudah datang dan kakak pengajar. Ria berusaha untuk tetap ceria.
Satu persatu, siswa bimbel mulai berdatangan, seolah tak ingin melewatkan pertemuan yang mungkin akan jadi pertemuan terakhir bagi mereka dengan teman-teman les. Rasanya begitu sesak ketika menyadari waktu 1 tahun bimbingan sudah berlalu begitu cepat. Sedikit haru mulai menyelimuti suasana.
Ria pun tak ketinggalan ikut berbagi rasa dengan 47 dari total 50 siswa-siswi bimbel yang hadir di kelas terakhir mereka. Namun, kedatangan Fauzi lah yang paling ia tunggu. Sudah nyaris satu tahun Ria memendam semuanya! Bahkan sahabatnya, Edo, pun tak Ria beritahu. Ria merasa sulit menerima jika hari terakhir ini berlalu tanpa sebuah hal penting yang paling ia nantikan, nomor contac Fauzi.
Hari semakin sore, hingga kelas selesai. Semua murid suka cita dan penuh haru. Namun dari seluruh murid tersebut, tak ada satupun orang bernama Fauzi, seseorang yang paling Ria nanti hari itu. Bahkan hingga seluruh murid meninggalkan tempat bimbel, tak terlihat batang hidung Fauzi sedikitpun.
Ria masih bertahan di kantin bersama Edo dan suara rintik hujan di luar sambil berusaha menikmati banana split nya. Namun, enaknya banana split kantin tidak terlalu terasa.
“Balik yu..”, Edo mengajak Ria pulang.
“Hee? Pulang ya..?”, Ria agak sedikit galau dan perasaannya tak menentu.
“Nunggu apa lagi, Neng?”
Ria menghela napas dan diam sesaat.
“Fauzi ya?”, Edo menebak.
Ria masih diam. Memilih tak menjawab.
“Gue pernah liat Fauzi boncengan ama cewek diparkiran sini. Kayaknya ceweknya..”, perkataan Edo terputus sesaat.
“Terus?”, Ria mencoba untuk terlihat tak perduli.
“Gue ga cerita karena tadinya gue anggap itu bukan urusan gue..”, Edo menambahkan.
“Terus?”
Edo akhirnya memilih diam dengan ekspresi merasa bersalah.
 “Terus? Masih ada ceritanya?”, Ria berusaha mendatarkan ekspresi wajahnya, meski hatinya terasa tercabik. Ria berusaha mencairkan kembali suasana dengan sahabatnya.
Hati Ria sebeutulnya remuk redam dengan ketidakhadiran Fauzi hari ini. Ria merasa sangat kecewa. Ria benar-benar patah hati, terutama setelah mendengar kesaksian Edo. Ria masih galau. Ria jadi tiba-tiba benci pada Fauzi dan dirinya sendiri. Tapi Ria juga tidak bisa naif untuk mengakui bahwa Ria masih sangat menyukai Fauzi. Terlalu berat rasanya tidak menyukai Fauzi, apalagi untuk melupakan Fauzi begitu saja.
“Udah”, Edo juga berusaha berekspresi datar.
“Ya, udah”, Ria mengakhiri topik. Hingga mereka terdiam sesaat.
“Gak kerasa sih, kita udah gede, udah mau kuliah”, Ria mulai bangkit dari duduknya.
“Hooh, makin tua”, Edo menambahkan namun tetap duduk.
“Elu aja kali. Heh, balik nyok!”, Ria mulai cerewet lagi.
Edo segera bangkit.
“Haha, gue kira lu mau nginep..”, Edo bercanda.
“Preet!”, Ria mengelak.
Mereka akhirnya berjalan bersama menuju tempat parkir.
Edo mulai membuka kunci mobilnya lalu masuk mobil disusul oleh Ria.
“Elu ya, kalo ada apa-apa bilang sama sahabat lu! Apa gunanya sahabat kalo gitu?”, Edo mulai memberi petuah sembari menyalakan mobilnya.
“Kan ga semua harus diceritain men!”, Ria membela diri.
“Beuh, pantes lu doyan orang intovert”, Edo berguman keras.
“Apa?”, Ria tak terlalu memperhatikan.
“Gue ganteng!”, Edo memperkeras suaranya di telinga Ria.
“Dodol! Gue gak budeg!”, Ria memukul Edo yang dibalas tawa oleh Edo.
Hmmm.. Andai lu tau Ria...
Edo berguman dalam hatinya.
***
Bandung, 5 April 2011
20:56 WIB
Kamar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar